
Petang itu, begitu pulang dari sekolah ayah memanggil kami berdua. Dia meminta aku dan adik berdiri di tepi dinding. Aku ketakutan melihat rotan panjang di tangan ayah.
"Siapa ambil duit ayah?" tanya ayah bagai singa lapar. Berdua kami membisu, cuma tunduk memandang lantai.
"Baik, kalau tak mengaku, semua ayah rotan!" sambung ayah sambil mengangkat tangan untuk melepaskan pukulan pertamanya ke punggungku.
Tiba-tiba, adik menangkap tangan ayah dengan kedua belah tangannya sambil berkata, "Saya yang ambil!"
Belum sempat adik menarik nafas selepas mengungkapkan kata-kata itu, ayunan dan pukulan silih berganti menghantam tubuh adik. Walau perih menahan sakit, setitis pun air mata adik tak tumpah.
Setelah puas melihat adik tersungkur di lantai, ayah bicara; "Kamu sudah mulai belajar mencuri di rumah sendiri. Apa lagi perbuatan kamu yang akan memalukan ayah di luar kelak?"
Namun adik cukup tabah. Setitis pun air matanya tidak mengiringi kesakitannya. Melihat keadaan itu, aku meraung sekuat hati, menyesal dengan sikapku yang takut berkata benar.
Adik segera menutup mulutku dengan kedua belah tangannya lalu berkata, "Jangan menangis kak, semuanya sudah berlalu!"
Tahun bersilih ganti, peristiwa adik membelaku bagaikan baru tadi malam berlaku. Adik mendapat tawaran belajar ke sekolah berasrama penuh dan aku pula ditawarkan menyambung pelajaran ke universitas.
Malam itu ayah duduk dibawah cahaya lampu minyak tanah bersama ibu di ruang tamu. Aku mendengar ayah berkata, "Zah, kedua anak kita cemerlang dalam pelajaran. Abang bangga sekali!"
"Tapi apalah maknanya bang ...!" aku terdengar ibu terisak-isak. "Dimana kita akan mencari duit membiayai mereka?"
Ketika itulah adik keluar dari kamarnya. Dia berdiri di depan ayah dan ibu. "Ayah, saya tak mau ke sekolah lagi!"
Perlahan-lahan ayah bangun, membetulkan sarungnya dan merenung wajah emak, kemudian wajah adik dalam-dalam. Panggggggggg... sebuah tamparan singah di pipi adik. Seperti biasa yang mampu aku lakukan ialah menutup muka dan menangis.
"Kenapa kamu ini? Tahu tidak, kalau ayah terpaksa mengemis demi sekolah kamu, ayah akan lakukan!"
"Orang lelaki harus sekolah. kalau tidak, dia takkan dapat membawa keluarganya keluar dari kemiskinan," aku membujuk adik tatkala mengoles minyak pada pipinya yang bengkak.
"Kakak perempuan ... biarlah kakak yang berhenti."
Tiada yang menyangka, dini hari itu adik tak ada dikamarnya. Dia membawa bersamanya beberapa helai baju lusuh yang dia punyai. Di atas bantal tempat dia lelapkan mata, terdapat sehelai kertas yang tertulis .....
"Kak... untuk dapat peluang ke universitas bukannya mudah. Saya cari kerja dan akan kirim uang buat kaka."
Apa lagi yang saya tahu selain meraung. Ayah termenung, jelas dia cukup kecewa. Begitu juga emak yang menggunakan air matanya membujuk ayah.
Suatu petang ketika beristirahat di asrama, teman sekamar memberitahu : "Ada pemuda kampung menunggu kau di luar!"
"Pemuda kampung?" bisikku. "Siapa?"
Tergesa-gesa aku keluar kamar. Dari jauh aku lihat adik berdiri dengan pakaian comotnya yang dipenuhi lumpur dan semen. "Kenapa sebut orang kampung, sebutlah adik yang datang!"
Sambil tersenyum dia menjawab, "Kakak lihatlah pakaian adik ini. Apa yang akan kawan-kawan kakak katakan kalau mereka tahu saya adik kakak?"
Jantungku terasa berhenti berdenyut mendengarkan jawabannya. Tanpa sadar, air jernih mengalir di pipi. aku kibas-kibas butir-butir pasir dan semen-semen pada pakaian adik. Dalam suara antara dengar dan tidak, aku bersuara, "Kakak tak peduli apa orang lain katakan."
Dari kantong celananya, adik keluarkan jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Dia mengenakan pada rambutku sambil berkata, "Kak, saya lihat banyak gadis memakai jepit seperti ini, saya beli satu untuk kakak."
Aku rangkul adik dan dadanya dibasahi air mataku yang tak dapat di tahan. Tamat kuliah, aku pulang ke kampung sementara menunggu wisuda. Aku lihat korden dan dinding rumah bersih, tak seperti biasanya.
"Emak, tak usah kerja payah membersihkan rumah menyambut saya balik."
"Adik kamu bersihkan. Dia pulang kemarin. Habis tangannya luka-luka."
Aku menuju ke kamarnya. Cantik senyum adik. Kami berdekapan. "Sakit kah?" aku bertanya tatkala memeriksa luka pada tangannya.
"Tidak, kakak tahu, semasa bekerja sebagai buruh kontrak, kerikil dan serpihan semen jatuh seperti hujan menimpa tubuh saya sepanjang masa. kesakitan yang dirasa tidak dapat menghentikan usaha saya untuk bekerja keras."
Apalagi... aku hanya menangis seperti biasanya.
Aku menikah pada usia menginjak 27 tahun. Suamiku seorang usahawan menawarkan jabatan pengurus kepada adik.
"Kalau adik terima jabatan itu, apa kata orang lain?" kata adik. "Adik tak ada ijazah. Biarlah adik bekerja dengan kelulusan yang adik ada."
"Adik tak sekolah pun karena kakak." kataku membujuk.
"Kenapa sebut kisah lama kak.?" katanya ringkas, coba menyembunyikan kesedihannya.
Adik terus tinggal di kampung dan bekerja sebagai petani setelah ayah tiada. Pada acara perkawinannya dengan seorang gadis sekampung, pembawa acara bertanya, "Siapakah wanita yang paling anda sayangi?"
Spontan adik menjawab, "Selain emak, kakak saya..." katanya lantas menceritakan suatu kisah yang tidak ku ingat lagi.
"Semasa sama-sama sekolah dasar, setiap hari kami berjalan kaki ke sekolah. suatu hari tapak sepatu saya lepas. melihat saya hanya memakai sepatu sebelah, kakak membuka sepatunya dan memberikannya pada saya. Dia berjalan dngan sebelah sepatu. Sampai di rumah saya lihat kakinya berdarah sebab menginjak tunggul dan batu-batu tajam. Sejak saat itulah saya berjanji pada diri sendiri. Saya akan lakukan apa saja demi kebahagiaan kakak saya itu. Saya berjanji akan menjaganya sampai kapanpun."
Begitu adik selesai bercerita, aku lari ke pelaminan, mendekap adik sungguh-sungguh sambil meraung histaris.
Semoga menjadi sebuah renungan bagi sahabat fillah ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar